Jika istri tertekan jiwanya, maka marah akan menjadi jalan keluarnya.
Korban pertamanya adalah anak-anak. Entah itu dimarahin,
dicubitin,
dipukulin, diplototin, dihardik, dsb.
Jika suami istri terhambat
komunikasinya, maka cerewet akan menjadi pelampiasannya. Jika istri
stres karena banyaknya pekerjaan yang harus ia kerjakan maka hilanglah
kewarasannya.
Ada 2 macam model istri, yaitu istri yang bekerja
atau istri yang
full di rumah mengurus rumah tangga. Saya sudah
mengalami dan menjalankan keduanya. Saya tahu betul bagaimana rasanya
berada dalam kedua kondisi ini yang berpotensi membuat istri stres dan
hilang kewarasannya jika tidak ada dukungan dari suaminya.
Persoalannya bukan pada bekerja atau tidaknya seorang istri yang membuat
ia stres dan hilang kewarasannya, tapi pada tidak adanya dukungan
suami. Suami tidak memberi kontribusi pada urusan domestik rumah tangga.
Suami
cuek bebek, suami tidak mau tahu urusan dapur, tidak empati
melihat anak rewel, tidak iba melihat istri kelelahan, tidak inisiatif
melihat rumah berantakan. Istri yang stres juga bermula dari suami yang
pelitnya minta ampun, suami yang marahnya sampi ke ubun-ubun, suami yang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga, suami yang tidak mampu menjaga
pandangan.
Sebagai ibu bekerja yang berangkat pagi hari, tentulah
istri setiap pagi pontang panting menyiapkan sarapan, mempersiapkan
keperluan dan bekal anak ke sekolah, mempersiapkan keperluannya sendiri
untuk ke kantor, belum lagi perlengkapan dan keperluan suaminya. Jika
ada asisten rumah tangga, istri akan terbantu mengerjakan semua itu.
Masalahnya tidak semua keluarga memiliki asisten rumah tangga. Saat
seperti itu hadirlah wahai suami membantu tugas istri.
Misalnya,
istri memasak, suami menyapu atau ngepel. Istri menyetrika baju, suami
memandikan anak. Jadi saling membantu, saling menanggung beban, saling
kerjasama.
Kebanyakannya, suami bangun telat, kalaupun bangun
subuh, setelah sholat dia tidur lagi, jadilah istri pontang-panting
menyiapkan segala sesuatunya. Belum lagi kalau anaknya rewel menangis
atau berantem kakak adik.
Pulang kerja apakah istri bisa segera
istirahat? Belum, karena masih ada prosesi makn malam yang harus
disiapkan, masih ada piring yang harus dicuci. Belum lagi kalau
anak-anak ada PR, belum lagi kalau mau ulangan atau menghadapi UN. Saat
rempong seperti itu suminya asik nonton bola, main game atau berselancar
di dunia maya. Akhirnya pelampiasannya ke anak, padahal anak tidak
salah apa-apa. Akhirnya gampang marah, jadi stres dan hilang
kewarasannya.
Yang lebih parahnya, sudahlah istri ikut bekerja
membanting tulang membantu suami menafkahi rumah tangga, suami tidak ada
lembut-lembutnya memperlakukan istri. Jangankan mau berempati dengan
saling bekerja sama, mengucapkan Terimakasih saja tidak.
Ibu yang
seharian di rumah lain lagi persoalannya. Seharian di rumah mengurus
anak membuat istri bosan dan jemu. Jangan dikira mengurus anak itu
mudah, ada-ada saja ulah anak itu. Mulai dari
numpahin air, berantakin
rumah, nangis,
berantem, ngak mau ditinggal, nggak mau makan, sakit
dsb.
Sampai-sampai karena sibuk mengurus anak dan urusan domestik lainnya,
istri tidak punya waktu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk sekedar
selonjoran.
Jadi jangan buru-buru menyalahkan istri.
Jadilah
pemimpin yang disegani istri, pemimpin yang menjadi teladan seluruh
anggota keluarga.
Jika istri ada kekurangan, ajarkan dia. Jika istri ada
salah, betulkan ia.
Beri ia ruang untuk belajar, ruang untuk tumbuh dan
berkembang dan ruang untuk dirinya sendiri.
Muliakan istri kita,
sayangi ia sebagaimana ayahnya menyayanginya di waktu kecil.
Istri yang
bahagia akan mengurus rumah tangga dengan kualitas yang prima.
Istri
yang tenang jiwanya akan menjadi ibu yang menyayangi anak-anak dengan
sepenuh hatinya.
Istri yang dicintai dan disayangi sepenuh hati oleh
suaminya akan menerima suaminya apa adanya dan menghormatinya seutuhnya.
#gumam_uni_yesi